Harun ar Rasyid, khalifah besar itu terus berjalan. Bersama Fadhl bin Rabi’ ia susuri kota Mekah, berkunjung dari satu Ulama kepada Ulama’ yang lain. Kecintaannya kepada para Ulama’ kala itu, menjadikannya tak lelah mengunjungi mereka, terlebih ketika hatinya terasa gundah. Kunjungan pertamanya adalah kepada Sufyan bin Uyainah. Disana ia disambut dengan ramah. Kepada beliau Harun ar Rasyid bertanya : “ Apakah engkau punya hutang ? “ Sufyan menjawab : “ Ya, punya “. Harun ar Rasyid, kemudian memberinya uang untuk melunasi hutangnya. Beliau kemudian berlalu
Keduanya kemudian menemui ulama’ lain yaitu Abdurrazaq bin Hammam. Kepada beliau ia bertanya hal serupa dan memberinya uang untuk membayar hutang. Setelah itu, beliau berkunjung ke tempat Fuhail bin Iyadh. Kepada Fudhail, penguasa besar ini meminta nasehatnya. Fudhail berkata : “ Wahai engkau yang berwajah tampan, engkau akan ditanya oleh Allah SWT tentang orang – orang yang menjai rakyatmu. Jika engkau bisa melinungi wajah itu dari api neraka, maka lakukanlah. Janganlah ada satu pagi atau senja, dimana engkau berlaku curang kepada rakyat. Sebab Rasulullah menjelaskan, barangsiapa berlaku curang atas rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau Surga. “ Mendengar nasehat itu mata Harun ar Rasyid sembab kemudian mengalirlah air mata dari kedua kelopak matanya. Panglima besar penakluk Romawi itu menangis.
Kisah ini adalah potret nyata tentang seorang penguasa yang tak mau berhenti belajar. Dengan caranya sendiri, ia telah melakukan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. Awalnya adalah Shilaturrahim, selanjutnya adalah keberhasilan dirinya menaklukkan ego kekuasaan yang umumnya di sebagian orang cenderung membawa kepada kesombongan, kekerasan hati dan keengganan untuk menerima nasehat. Di balik kebesarannya, ia mempunyai cara tersendiri untuk melembutkan hatinya, dan cara itu bernama Shilaturrahim, berkunjung dari satu ulama’ kepada ulama’ yang lain. Shilaturrahim adalah potret kerinduan tentang makna kasih sayang dan arti sebuah nasehat bagi lelaki yang selalu berhaji dan berjihad secara berselingan setiap tahun ini. Mengenang kisah legendaris ini, kita bisa mengerti bahwa shilaturrahim adalah sebuah aktivitas yang mampu membawa dampak luar biasa bagi kelembutan jiwa kita.
Orang –orang sholeh terdahulu, sangat tahu tentang bagaimana cara mereka melembutkan jiwa. Shilaturrahim, berkunjung kepada para ulama’ adalah salah satu cara yang mereka tempuh. Shilaturrahim menjadi tradisi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan mereka. Sebagaimana Umar bin Khothob yang rajin bershilaturrahim mengunjungi rakyatnya, yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Umar bin Abu Aziz yang juga tak lelah berkunjung kepada para ulama’ terkenal, seperti Salim bin Abdillah, Muhammad bin Ka’ab, Raja’ bin Haiwah dan lain – lain. Tradisi itu mereka lakukan dengan niatan tulus, yaitu belajar dan meminta nasehat. Tak ada niat lain selain itu, entah itu penghargaan maupun dukungan atas eksistensi dirinya
Paradok dengan fenomena saat ini, ketika semua yang ada penuh dengan manipulasi. Terlalu rumit untuk memaknai aktivitas hidup di zaman yang penuh dengan manipulasi ini. Bahkan, shilaturrahim yang sejatinya adalah aktivitas “ washilah “ penyambung kasih sayang, telah dimanipulasi oleh kultur, budaya, cara pandang, serta oligarki hawa nafsu dan bias – bias kecerdasan. Dan bahkan atas nama agama, Shilaturrahim telah bergeser maknanya, terseret dalam pusaran manipulasi yang telah berdenyut bersama jalan pikiran masyarakat, tradisi, budaya atau kebiasaan di kala tiba hari raya dan sebagainya.
Ada yang salah dari semua itu. Yang kini telah menjadi pilihan sekaligus aktivitas dari sebagian masyarakat kita. Shilaturrahim dalam bentuk berkunjung mungkin ia lakukan. Meminta maaf sebagai ekspresi kunjungan itu ia ikrarkan. Jabat tangan sebagai simbol aktivitas itu juga ia kerjakan. Jamuan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu yang berkunjung juga tersedia. Artinya ia memang telah benar – benar berkunjung, meminta maaf, berjabat tangan dan menjamu atau menikmati jamuan. Bisa jadi ia telah melakukan semua itu. Tetapi persepsi dan niatan yang dia lakukan dalam shilaturrahim itu telah menciderai shilaturrahim itu sendiri. Sebab persepsi dan niatan itulah yang melatarinya untuk melakukan shilaturrahim itu. Ketika shilaturrahim dipersepsikan hanya sebagai sebuah tradisi. Shilaturrahim dimaknai sebagai sarana pamer kemewahan. Shilaturrahim digunakan sebagai sarana meraih ambisi pribadi. Kunjungan mungkin dilakukan. Jabat tangan dikerjakan. Saling meminta maaf diikrarkan. Tapi ibalik itu, persepsi dan niat itulah yang akan menentukan kualitas shilaturrahim yang dilakukan, karena shilaturrahim tidak identik dengan saling mengunjungi, saling berjabat tangan dan meminta maaf, ataupun menjamu dan menikmati jamuan, meskipun semua itu ada dalam aktivitas shilaturrahim. Shilaturrahim adalah ketulusan untuk menyambungkan kasih sayang, baik yang terjalin maupun yang telah terputus. Ketulusan adalah kuncinya. Begitu sejatinya.
Bicara tentang ketulusan, ia adalah sebentuk kerja – kerja bathin. Tentang bagaimana seseorang bersikap, kemudian memberi arti atas banyak hal. Arti sebuah tindakan, aktivitas dan sebagainya. Dalam hal apa saja. Sebagaimana seseorang juga bisa tidak tulus, sombong, angkuh, riya’ dan sebagainya. Semuanya bisa ada dalam diri seseorang.
Maka, bershilaturrahim dalam arti saling kunjung, saling berjabat tangan, saling maaf memaafkan, menjamu atau menikmati jamuan saja tidak cukup. Masih ada soal lain, apakah shilaturrahim itu dikerjakan secara tulus atau tidak. Apakah shilaturrahim itu sebagai titik awal menjalin kasih sayang terhadap sesama atau tidak. Atau sebaliknya, ia menjadi media untuk pamer kekayaan, merendahkan orang lain, dan semua bentuk ambisi pribadi pelakunya. Shilaturrahim hanya sebagai sarana mengelabuhi orang lain atas nama kasih sayang.
Selalu ada makna yang berbeda untuk dua bentuk pekerjaan yang sama. Ketulusan dan keikhlasanlah yang akan membedakannya. Kunjungannya mungkin sama, jabat tangan yang dilakukan juga sama, ikrar maaf memaafkan yang diucapkan mungkin sama, jamuan yang terhidang dan cara menikmatinya juga sama, tetapi kelurusan persepsi dan ketulusan niat yang membedakan. Sebagaimana puasa yang baru saja sama - sama kita kerjakan, tapi Allah akan menerima dengan cara berbeda, karena ketulusan yang berbeda. Jadi, pilihan atas persepsi dan niat dibalik shilaturrahim itulah yang menentukan kualitas shilaturrahim kita. Dan setiap pilihan dengan kalkulasi – kalkulasi performanya itulah yang juga akan menentukan nilanya dihadapan Allah SWT kelak. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar