KEPASRAHAN DIATAS KETIDAKBERDAYAAN
Oleh : Ust. Andriyanto Heri Waskito
Di tepi pantai lelaki itu temenung. Ditatapnya ombak lautan yang terus menderu. Sesekali percikan ombak itu menerpa tubuhnya. Ia biarkan dirinya basah oleh percikan air laut yang mengenai tubuhnya. Angin laut semilir berhembus, seakan berharap ikut menjadi saksi atas peristiwa yang sedang terjadi terhadap lelaki itu. Hanya saja, lelaki itu tetap saja tak mau peduli dengan keadaan disekitarnya. Deru suara ombak seakan tiada pernah ia dengar, air laut yang menerpa tubuhnya tiada ia rasakan, demikian juga semilir angin yang berhembuspun tidak pernah ia hiraukan. Lelaki itu terpaku. Pikirannya melayang terbang menembus langit kehidupan yang menggoreskan kenangan dalam lingkaran kehidupannya. Ia sedang berduka. Setelah setengah bulan dia tergolek lemas dalam pembaringan karena sakit yang ia derita, kini dia juga harus ditinggal pergi untuk selamanya oleh seorang wanita yang telah mengasuh, merawat dan membesarkannya dengan buaian kasih sayang yang tiada tara bandingannya menurutnya, hingga ia dewasa. Rasa perih menyentak di dadanya, ingin rasanya jiwanya berontak melawan kenyataan yang telah terjadi. Tetapi apa daya, ia harus pasrah melawan takdir hidup yang tak kuasa ia melawannya. Lelaki itu menangis haru.
Kisah lelaki di tepi pantai ini adalah salah satu diantara sekian banyak fragmen dalam hidup ini. Mungkin ada sebagian diantara kita yang menganggapnya sebagai sebuah cerita sederhana, kisah cengeng dan tak memberi kesan apapun bagi yang mendengar. Hanya kisah biasa saja. Tetapi tidak dengan lelaki itu, atau mungkin sebagian diantara orang. Tulisan inipun hendak bertutur, bahwa sesungguhnya ada banyak kisah, renungan, refleksi yang bisa kita ambil hikmahnya dalam keseharian hidup kita.
Ya, kisah lelaki di tepi pantai itu sejatinya adalah renungan tentang warna kehidupan. Ketika sesungguhnya warna kehidupan ini begitu cepat berganti. Dari satu warna berganti warna yang lain. Sebagaimana kisah lelaki itu, baru saja ia sembuh dari sakitnya selama setengah bulan, ujian baru datang menimpanya. Sepertinya ia belum lama bebas dari himpitan ujian, ujian baru telah menghadang.
Begitulah, kisah lelaki di tepi pantai itu hanyalah penegasan bahwa sesungguhnya segalanya bisa berubah. Dan memang begitulah hidup. Sepekat apapun malam, ia tak akan kuasa menahan terangnya siang. Begitupun sebaliknya, seterang apapun cahaya siang, ia tidak akan mampu mengalahkan gelapnya malam. Semuanya bergulir dan bergilir. Dari gelap ke terang, dari terang ke gelap dan seterusnya. Itulah kehidupan ini. Ia adalah pergiliran dari episode terang menuju gelap, maupun sebaliknya dari episode gelap menuju terang dan seterusnya. Kegelapan bisa mewakili ujian, cobaan, kesusahan, musibah, kegagalan dan sebagainya. Sementara itu terang adalah mewakili kebahagiaan, kesuksesan, kemudahan, keberhasilan dan sebagainya. Maka sebenarnya masalahnya bukan pada gelap dan terang itu sendiri, tetapi bagaimana kita mensikapi keduanya.
Kisah lelaki di tepi pantai diatas sejatinya bukan hanya kisah sederhana, tetapi kisah tersebut adalah pelajaran berharga bagi kita, lautan hikmah yang dapat kita ambil ibrahnya. Dari kisah ini sesungguhnya kita bisa belajar banyak hal. Satu dintaranya adalah bahwa tak ada seorangpun yang mampu sepenuhnya memahami takdir Allah SWT. Sebagai sebuah ketetapan Allah, ia pasti terjadi dalam kehidupan ini. Kita boleh merencana, kita dapat memprediksi, tetapi tak ada seorangpun yang tahu pasti tentang apa yang bakal terjadi esok hari. Meskipun rencana itu telah disusun secara matang, prediksi itu telah didasarkan pada indikator – indikator yang ilmiah dan akurat, tetap saja tak ada yang kuasa menentukan kepastiannya. Hari – hari yang kita jalani tak lebih hanya sepenggal masa yang esoknya tak pernah bisa kita terka, sepotong waktu yang esoknya kita tidak akan pernah tahu. Maka dalam konteks inilah, keimanan kita akan Qadha dan Qadar Allah SWT menjadi penting.
Kisah lelaki di tepi pantai itu tak hanya kisah tentang seorang hamba yang sedang dilanda duka, bukan melulu kisah tentang seorang manusia yang sedang bersedih hati. Kisah ini adalah refleksi tentang ketidakberdayaan manusia melawan ketentuan Allah, hingga akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka, harus berujung pada kepasrahan menerima ketentuan tersebut diatas ketidakberdayaannya. Segalanya dalam kehidupan ini bukan dalam kuasa kita. Ikhtiar hanyalah sebuah upaya sunnatullah mendekatkan ketentuan Allah. Maka dari sinilah kita tidak diperkenankan sombong dengan apa yang berhasil kita capai, sedemikian juga kita dilarang bersedih dengan apa yang luput dari jangkauan tangan kita. Ketentuan Allah adalah pasti. Tak ada pilihan lain bagi kita kecuali menjalaninya. Hitam – putih dalam kehidupan ini harus kita jalani. Apapun takdirnya meski kita terima, karena disana ada kalkulasi – kalkulasi ilahi tersendiri, yang tak pernah bisa tersentuh oleh kalkulasi manusiawi. Seperti angin yang berhembus, tak hanya harus kita terima ketika menghantarkan kita pada kantuk yang menjadikan kita tertidur lelap, tetapi juga meski kita terima ketika angin itu berubah menjadi topan dan badai yang menghancurkan, melemparkan semua yang ada dari milik kita.
Kita memang harus banyak belajar tentang bagaimana memandang hidup, menerima segala ketentuan Allah SWT. Jangan sampai kita keliru karena persepsi kita sendiri, karena tak ada yang lebih menyiksa daripada persepsi diri sendiri yang keliru. Apa yang seharusnya bisa kita pandang baik, bisa menjadi berubah buruk, karena cara pandang kita yang keliru. ‘’ Maka apakah orang –orang yang dibukakan Allah hatinya untuk ( menerima ) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya ( sama dengan orang yang membeku hatinya ? ) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah “.
Alangkah kayanya hidup ini dengan pelajaran. Tapi alangkah miskinnya kebanyakan diantara kita memahaminya. Sebagaimana kisah lelaki di tepi pantai diatas, ternyata sarat pelajaran berharga bagi kita. Sayangnya, tak banyak diantara kita yang memahami, meskipun banyak orang pintar diantara kita. Sebab pintar memang berbeda dengan paham. Pintar hanyalah alat, sedangkan paham adalah menghayati. Semoga saja kita tak hanya pintar, tetapi juga bisa memahami ada apa dibalik kisah lelaki ditepi pantai ini. Sebagaimana pemahaman kita, bahwa kita harus pasrah menjalani ketetapan Allah sampai kapanpun. Sepanjang perjalanan hidup kita, sampai akhir hayat kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar