Kamis, 15 Desember 2011


REVITALISASI PERAN USTADZ / AH TPQ

DALAM UPAYA PEMBENTUKAN GENERASI QUR’ANI

Oleh : Ust. Andriyanto Heri Waskito
( Dimuat dalam Bulletin Al Qudwah edisi : 02/I Tahun 2007 )

Bicara tentang revitalisasi artinya kita bicara tentang pemaknaan kembali atas sebuah masalah. Revitalisasi dapat dimaknai pula sebagai sebuah langkah yang dilakukan untuk mementingkan kembali sebuah persoalan yang dianggap telah biasa berjalan tanpa perkembangan, diabaikan atau mungkin telah terlupakan. Bicara tentang revitalisasi artinya kita bicara tentang komitmen. Tahukah kita tentang komitmen ?
Sepemahaman saya ,komitmen dapat kita maknai secara sederhana sebagai sebuah kemauan keras membaja untuk berbuat sesuatu. Jadi, komitmen adalah merupakan kerja bathin. Meski demikian, ia tidak akan pernah berarti apa – apa tanpa kerja lahir. Ketika ia hanya ada dalam benak kita saja, itu artinya sama sekali tidak ada. Karena komitmen sebenarnya adalah pada action atau tindakan kita untuk merealisasikan apa yang menjadi tekad kita.
Bukan sebuah hal yang mudah untuk membangun sebuah komitmen, karena ia pada dasarnya menyatu dengan karakter diri kita. Ia tumbuh karena selalu kita pupuk, beremai karena senantiasa kita sirami, sehingga hidup dengan subur dalam diri kita. Itulah yang biasa orang menyebutnya dengan karakter. Ia tidak serta – merta muncul dengan tiba – tiba atau cukup dengan mantra bin salabim abracadabra kemudian ada. Laksana mendaki gunung, kita mesti mau berpayah – payah dan berkuah keringat untuk menuju ke puncak. Mungkin jalan menuju kesana adalah jalan yang berliku, penuh dengan batu – batu keras dengan tebing – tebing terjal dan jurang yang curam. Belum lagi hewan – hewan buas yang senantiasa siap menerkam. Begitu sulitnya untuk menuju kesana. Tapi, bagi mereka yang mempunya tekad yang kuat, ia akan terus mendakinya sampai ia berhasil menuju puncak. Barangkali seperti inilah gambaran perjuangan kita untuk membangun sebuah komitmen.

Menjadi seorang ustad / ah TPQ adalah sebuah kemuliaan. Mulia dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan Allah SWT. Beruntunglah bagi mereka yang dipilih oleh Allah SWT untuk menjadi salah satu bagian pengusung gerbong kebangkitan Islam lewat pengajaran Al Qur’an di TPQ. Saya katakan beruntung, karena dengan ataupun tanpa kita yang terlibat di TPQ, TPQ akan tetap berjalan dengan orang – orang lain yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai bagiannya. Nah, beruntunglah bagi mereka yang dipilih oleh Allah SWT menjadi salah satu bagiannya. Beruntunglah mereka yang menjadi salah satu batu penyusun bangunannya. Beruntunglah bagi mereka yang turut serta membangun peradaban kehidupan, karena disinilah letak perbedaan manusia dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah Swt untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah SWT menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini. “ Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya “  (QS 11:61).
Bicara tentang revitalisasi peran Ustadz – ustadzah TPQ dalam upaya pembentukan generasi Qur’ani, artinya kita bicara tentang sebuah usaha untuk membentuk sebuah peradaban. Peradaban dimaksud adalah peradaban Qur’ani. Peradaban anak manusia yang senantiasa bersentuhan dengan nilai – nilai Qur’ani. Dengan kata lain, kehidupannya selalu dipandu oleh Al Qur’an, karena ia selalu berusaha mengikuti panduannya.
Untuk bisa membangun generasi Qur’ani ini, ada lima pondasi yang harus diwujudkan dan selalu kita perjuangkan bersama, yaitu: Pertama,  aplikasi nilai-nilai Al Qur’an yang datang dari Allah SWT , Kedua, menjadikan akal kita selalu berpikir dan merenungkan segala kandungan Al Qur’an. Ketiga, mencari harta dengan petunjuk Al Qur’an. Keempat, menjaga dan melestarikan akhlak Al Qur’an. Dan Kelima, menjadikan keturunan atau nasab kita sebagai generasi yang senantiasa  berinteraksi dengan Al Qur’an.
Membangun generasi Qur’ani artinya membangun peradaban manusia yang senatiasa berinteraksi dengan Al Qur’an, membangun kehidupan yang geraknya berpedoman Al Qur’an. Inilah kehidupan yang berbeda dengan kehidupan makhluk Allah SWT yang lain, misalnya binatang. Oleh karenanya, manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang. Hal ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempuna dibanding binatang, juga manusia punya potensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179).
Menjadi jelas bagi kita, bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada, apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak, bila tidak, maka kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat, ia menjadi hamba Allah yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.
Merevitalisasi peran ustadz/ah TPQ dalam upaya pembentukan generasi Qur’ani, artinya kita merevitalisasi pemaknaan kita atas upaya pembentukan sebuah peradaban. Dari mana proses ini kita mulai ? Jawabannya dari komitmen yang kita bangun. Kita harus membangun sebuah komitmen kuat, bahwa setiap kita adalah seorang da’i dan kewajiban kita untuk berda’wah adalah diatas segalanya. Jadi, ketika ada sebuah pertanyaan apa profesi                  kita ? Profesi kita adalah Ustadz/ah TPQ. Sampingan kita mungkin bisa sebagai pengusaha, PNS, karyawan atau yang lainnya. Inilah pemaknaan mendalam kita tentang hakekat berda’wah yang merupakan kewajiban kita. Dalam konteks ini adalah berda’wah dilingkungan anak – anak melalui sebuah media bernama TPQ. Oleh karena itu, marilah kita mulai memperbaharui kembali komitmen kita yang mungkin mulai pudar atau menumbuhkannnya lagi andaikan ia telah tiada dalam diri kita. Komitmen bahwa mengajar TPQ adalah kewajiban kita semua. Komitmen bahwa menjadi Ustadz / ah TPQ adalah salah satu tugas kita sebagai hamba.



MENGIDENTIFIKASI MASALAH 
DI TPQ KITA

Oleh : Ust. Andriyanto Heri Waskito
( Dimuat dalam Bulletin Al Qudwah edisi : 05 / II Tahun 2008)
Masalah sering kita pahami sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan kita, membuat kita menderita, tersiksa, merasa tidak nyaman secara lahir ataupun bathin. Dalam konteks relasi masalah dengan keimanan, Allah SWT menjelaskan :
“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi ? “
Dari Ayat diatas, dapat kita pahami bahwa masalah adalah merupakan bagian dari kehidupan setiap manusia, apalagi orang – orang yang beriman. Setiap manusia yang menyatakan dirinya sebagai insan beriman, ia tidak akan lepas dari ujian Allah SWT. Bagaimana dengan seorang Da’i, Ustadz/ah, maupun Muballigh ? Jelas, Allah juga akan mengujinya dengan berbagai macam ujian, mulai dari masalah pribadi secara khusus, maupun dunia da’wah yang ia geluti dalam konteks secara umum. Dalam hal ini kita akan bicara tentang masalah dalam dunia pembelajaran Al Qur’an. Secara khusus kita akan bicara tentang masalah yang ada di dunia Taman Pendidikan Al Qur’an ( TPQ ).
Kita pahami bersama bahwa Al Qur’an bukan hanya sebagai ktab suci, namun juga merupakan mu’jizat terbesar yang diberikan oleh Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW. Berpijak dari fakta inilah, maka menjadi kewajiban kita sebagai kaum muslimin untuk bisa mensyukuri nikmat Allah berupa Al Qur’an ini dengan senantiasa berinteraksi dengannya. Berinteraksi dengan Al Qur’an dimulai dengan belajar membaca, mengetahui maknanya, mengamalkan isinya, kemudian mengajarkannnya. Inilah tahapan yang harus dilakukan oleh setiap mukmin. Pertanyaannya bagaimana dengan kondisi yang ada saat ini ?
Dari sebuah data yang penulis baca, tahun 1978 – 1988 adalah masa bermasalah bagi perkembangan Da’wah Al Qur’an. Mengapa ? Dari data yang ada,  dapat dikatakan bahwa interval tahun ini adalah menjadi masa kelesuan membaca Al Qur’an. Kalau waktu Maghrib umumnya bacaan Al Qur’an menggema dimana – mana, pada masa itu dapat dikatakan masa sunyi senyap. Menjadi masalah lagi ketika guru mengaji semakin berkurang – kalau tidak boleh dikatakan semakin langka – ditambah lagi dengan televisi yang sudah mulai merambah rumah – rumah. Sebagai akibatnya, anak – anak jarang yang mengaji di rumah.
Masa setelah itu adalah masa keemasan pembelajaran Al Qur’an. Dengan ditemukannya metode Iqra’ oleh Ustadz As’ad Humam dari Yogyakarta, sekaligus diresmikannya metode ini oleh pemerintah waktu itu sebagai metode yang berlaku secara nasional, gairah pembelajaran Al Qur’an mengalami peningkatan yang luar biasa. Sebagai buktinya, dimana – mana menjamur Taman Pendidikan Al Qur’an ( TPQ ). Kelesuan pembelajaran Al Qur’an pada tahun – tahun sebelumnya terdongkrak. Sebuah terobosan yang patut kita syukuri bersama.
Namun ternyata masalah lain kemudian muncul saat ini. Diantara masalah itu adalah Pertama, belum adanya standarisasi Ustadz TPQ. Sebagai akibatnya, kualitas pembelajaran Al Qur’an belum dapat dikatakan sepenuhnya baik. Kedua, model pengajaran Al Qur’an yang dilakukan oleh para Ustadz TPQ umumnya, kurang variatif dan tdak kreatif. Ketiga, SDM Ustadz/ah TPQ  yang semakin langka. Keempat, pendidikan pasca TPQ yang belum banyak dipikirkan oleh pengelola TPQ. Kelima, organisasi Ustadz / ah yang ada belum dapat berfungsi secara optimal. Itulah diantara beberapa masalah pembelajaran Al Qur’an yang muncul saat ini dan perlu adanya langkah penyelesiann bersama. Bagaimana menurut anda ?

Rabu, 14 Desember 2011

PARADOKS ATAS NAMA SHILATURRAHIIM
Oleh : Ust. Andriyanto Heri Waskito
Harun ar Rasyid, khalifah besar itu terus berjalan. Bersama Fadhl bin Rabi’ ia susuri kota Mekah, berkunjung dari satu Ulama kepada Ulama’ yang lain. Kecintaannya kepada para Ulama’ kala itu, menjadikannya tak lelah mengunjungi mereka, terlebih ketika hatinya terasa gundah. Kunjungan pertamanya adalah kepada Sufyan bin Uyainah. Disana ia disambut dengan ramah. Kepada beliau Harun ar Rasyid bertanya : “ Apakah engkau punya hutang ? “ Sufyan menjawab : “ Ya, punya “. Harun ar Rasyid, kemudian memberinya uang untuk melunasi hutangnya. Beliau kemudian berlalu
Keduanya kemudian menemui ulama’ lain yaitu Abdurrazaq bin Hammam. Kepada beliau ia bertanya hal serupa dan memberinya uang untuk membayar hutang. Setelah itu, beliau berkunjung ke tempat Fuhail bin Iyadh. Kepada Fudhail, penguasa besar ini meminta nasehatnya. Fudhail berkata : “ Wahai engkau yang berwajah tampan, engkau akan ditanya oleh Allah SWT tentang orang – orang yang menjai rakyatmu. Jika engkau bisa melinungi wajah itu dari api neraka, maka lakukanlah. Janganlah ada satu pagi atau senja, dimana engkau berlaku curang kepada rakyat. Sebab Rasulullah menjelaskan, barangsiapa berlaku curang atas rakyatnya, maka ia tidak akan mencium bau Surga. “ Mendengar nasehat itu mata Harun ar Rasyid sembab kemudian mengalirlah air mata dari kedua kelopak matanya. Panglima besar penakluk Romawi itu menangis.
            Kisah ini adalah potret nyata tentang seorang penguasa yang tak mau berhenti belajar. Dengan caranya sendiri, ia telah melakukan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. Awalnya adalah Shilaturrahim, selanjutnya adalah keberhasilan dirinya menaklukkan ego kekuasaan yang umumnya di sebagian orang cenderung membawa kepada kesombongan, kekerasan hati dan keengganan untuk menerima nasehat. Di balik kebesarannya, ia  mempunyai cara tersendiri untuk melembutkan hatinya, dan cara itu bernama Shilaturrahim, berkunjung dari satu ulama’ kepada ulama’ yang lain. Shilaturrahim adalah potret kerinduan tentang makna kasih sayang dan arti sebuah nasehat bagi lelaki yang selalu berhaji dan berjihad secara berselingan setiap tahun ini. Mengenang kisah legendaris ini, kita bisa mengerti bahwa shilaturrahim adalah sebuah aktivitas yang mampu membawa dampak luar biasa bagi kelembutan jiwa kita.
                        Orang –orang sholeh terdahulu, sangat tahu tentang bagaimana cara mereka melembutkan jiwa. Shilaturrahim, berkunjung kepada para ulama’ adalah salah satu cara yang mereka tempuh. Shilaturrahim menjadi tradisi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan mereka. Sebagaimana Umar bin Khothob yang rajin bershilaturrahim mengunjungi rakyatnya, yang kemudian diteruskan oleh cucunya, Umar bin Abu Aziz yang juga tak lelah berkunjung kepada para ulama’ terkenal, seperti Salim bin Abdillah, Muhammad bin Ka’ab, Raja’ bin Haiwah dan lain – lain. Tradisi itu mereka lakukan dengan niatan tulus, yaitu belajar dan meminta nasehat. Tak ada niat lain selain itu, entah itu penghargaan maupun dukungan atas eksistensi dirinya
            Paradok dengan fenomena saat ini, ketika semua yang ada penuh dengan manipulasi. Terlalu rumit untuk memaknai aktivitas hidup di zaman yang penuh dengan manipulasi ini. Bahkan, shilaturrahim yang sejatinya adalah aktivitas “ washilah “ penyambung kasih sayang, telah dimanipulasi oleh kultur, budaya, cara pandang, serta oligarki hawa nafsu dan bias – bias kecerdasan. Dan bahkan atas nama agama, Shilaturrahim telah bergeser maknanya, terseret dalam pusaran manipulasi yang telah berdenyut bersama jalan pikiran masyarakat, tradisi, budaya atau kebiasaan di kala tiba hari raya dan sebagainya.
            Ada yang salah dari semua itu. Yang kini telah menjadi pilihan sekaligus aktivitas dari sebagian masyarakat kita. Shilaturrahim dalam bentuk berkunjung mungkin ia lakukan. Meminta maaf sebagai ekspresi kunjungan itu ia ikrarkan. Jabat tangan sebagai simbol aktivitas itu juga ia kerjakan. Jamuan sebagai bentuk penghormatan kepada tamu yang berkunjung juga tersedia. Artinya ia memang telah benar – benar berkunjung, meminta maaf, berjabat tangan dan menjamu atau menikmati jamuan. Bisa jadi ia telah melakukan semua itu. Tetapi persepsi dan niatan yang dia lakukan dalam shilaturrahim itu telah menciderai shilaturrahim itu sendiri. Sebab persepsi dan niatan itulah yang melatarinya untuk melakukan shilaturrahim itu. Ketika shilaturrahim dipersepsikan hanya sebagai sebuah tradisi. Shilaturrahim dimaknai sebagai sarana pamer kemewahan. Shilaturrahim digunakan sebagai sarana meraih ambisi pribadi. Kunjungan mungkin dilakukan. Jabat tangan dikerjakan. Saling meminta maaf diikrarkan. Tapi ibalik itu, persepsi dan niat itulah yang akan menentukan kualitas shilaturrahim yang dilakukan, karena shilaturrahim tidak identik dengan saling mengunjungi, saling berjabat tangan dan meminta maaf, ataupun menjamu dan menikmati jamuan, meskipun semua itu ada dalam aktivitas shilaturrahim. Shilaturrahim adalah ketulusan untuk menyambungkan kasih sayang, baik yang terjalin maupun yang telah terputus. Ketulusan adalah kuncinya. Begitu sejatinya.
            Bicara tentang ketulusan, ia adalah sebentuk kerja – kerja bathin. Tentang bagaimana seseorang bersikap, kemudian memberi arti atas banyak hal. Arti sebuah tindakan, aktivitas dan sebagainya. Dalam hal apa saja. Sebagaimana seseorang juga bisa tidak tulus, sombong, angkuh, riya’ dan sebagainya. Semuanya bisa ada dalam diri seseorang.
            Maka, bershilaturrahim dalam arti saling kunjung, saling berjabat tangan, saling  maaf memaafkan, menjamu atau menikmati jamuan  saja tidak cukup. Masih ada soal lain, apakah shilaturrahim itu dikerjakan secara tulus atau tidak. Apakah shilaturrahim itu sebagai titik awal menjalin kasih sayang terhadap sesama atau tidak. Atau sebaliknya, ia menjadi media untuk pamer kekayaan, merendahkan orang lain, dan semua bentuk ambisi pribadi pelakunya. Shilaturrahim hanya sebagai sarana mengelabuhi orang lain atas nama kasih sayang.
            Selalu ada makna yang berbeda untuk dua bentuk pekerjaan yang sama. Ketulusan dan keikhlasanlah yang akan membedakannya. Kunjungannya mungkin sama, jabat tangan yang dilakukan juga sama, ikrar maaf memaafkan yang diucapkan mungkin sama, jamuan yang terhidang dan cara menikmatinya juga sama, tetapi kelurusan persepsi dan ketulusan niat yang membedakan. Sebagaimana puasa yang baru saja sama - sama kita kerjakan, tapi Allah akan menerima dengan cara berbeda, karena ketulusan yang berbeda. Jadi, pilihan atas persepsi dan niat dibalik shilaturrahim itulah yang menentukan kualitas shilaturrahim kita. Dan setiap pilihan dengan kalkulasi – kalkulasi performanya itulah yang juga akan menentukan nilanya dihadapan Allah SWT kelak. Wallahu a’lam

           
KEPASRAHAN DIATAS KETIDAKBERDAYAAN
Oleh : Ust. Andriyanto Heri Waskito

Di tepi pantai lelaki itu temenung. Ditatapnya ombak lautan yang terus menderu. Sesekali percikan ombak itu menerpa tubuhnya. Ia biarkan dirinya basah oleh percikan air laut yang mengenai tubuhnya. Angin laut semilir berhembus, seakan berharap ikut menjadi saksi atas peristiwa yang sedang terjadi terhadap lelaki itu. Hanya saja, lelaki itu tetap saja tak mau peduli dengan keadaan disekitarnya. Deru suara ombak seakan tiada pernah ia dengar, air laut yang menerpa tubuhnya tiada ia rasakan, demikian juga semilir angin yang berhembuspun tidak pernah ia hiraukan. Lelaki itu terpaku. Pikirannya melayang terbang menembus langit kehidupan yang menggoreskan kenangan dalam lingkaran kehidupannya. Ia sedang berduka. Setelah setengah bulan dia tergolek lemas dalam pembaringan karena sakit yang ia derita, kini dia juga harus ditinggal pergi untuk selamanya oleh seorang wanita yang telah mengasuh, merawat dan membesarkannya dengan buaian kasih sayang yang tiada tara bandingannya menurutnya, hingga ia dewasa. Rasa perih menyentak di dadanya, ingin rasanya jiwanya berontak melawan  kenyataan yang telah terjadi. Tetapi apa daya, ia harus pasrah melawan takdir hidup yang tak kuasa ia melawannya. Lelaki itu menangis haru.
Kisah lelaki di tepi pantai ini adalah salah satu diantara sekian banyak fragmen dalam hidup ini. Mungkin ada sebagian diantara kita yang menganggapnya sebagai sebuah cerita sederhana, kisah cengeng dan tak memberi kesan apapun bagi yang mendengar. Hanya kisah biasa saja. Tetapi tidak dengan lelaki itu, atau mungkin sebagian diantara orang. Tulisan inipun hendak bertutur, bahwa sesungguhnya ada banyak kisah, renungan, refleksi yang bisa kita ambil hikmahnya dalam keseharian hidup kita.
Ya, kisah lelaki di tepi pantai itu sejatinya adalah renungan tentang warna kehidupan. Ketika sesungguhnya warna kehidupan ini begitu cepat berganti. Dari satu warna berganti warna yang lain. Sebagaimana kisah lelaki itu, baru saja ia sembuh dari sakitnya selama setengah bulan, ujian baru datang menimpanya. Sepertinya ia belum lama bebas dari himpitan ujian, ujian baru telah menghadang.
Begitulah, kisah lelaki di tepi pantai itu hanyalah penegasan bahwa sesungguhnya segalanya bisa berubah. Dan memang begitulah hidup. Sepekat apapun malam, ia tak akan kuasa menahan terangnya siang. Begitupun sebaliknya, seterang apapun cahaya siang, ia tidak akan mampu mengalahkan gelapnya malam. Semuanya bergulir dan bergilir. Dari gelap ke terang, dari terang ke gelap dan seterusnya. Itulah kehidupan ini. Ia adalah pergiliran dari episode terang menuju gelap, maupun sebaliknya dari episode gelap menuju terang dan seterusnya. Kegelapan bisa mewakili ujian, cobaan, kesusahan, musibah, kegagalan dan sebagainya. Sementara itu terang adalah mewakili kebahagiaan, kesuksesan, kemudahan, keberhasilan dan sebagainya. Maka sebenarnya masalahnya bukan pada gelap dan terang itu sendiri, tetapi bagaimana kita mensikapi keduanya.
Kisah lelaki di tepi pantai diatas sejatinya bukan hanya kisah sederhana, tetapi kisah tersebut adalah pelajaran berharga bagi kita, lautan hikmah yang dapat kita ambil ibrahnya. Dari kisah ini sesungguhnya kita bisa belajar banyak hal. Satu dintaranya adalah bahwa tak ada seorangpun yang mampu sepenuhnya memahami takdir Allah SWT. Sebagai sebuah ketetapan Allah, ia pasti terjadi dalam kehidupan ini. Kita boleh merencana, kita dapat memprediksi, tetapi tak ada seorangpun yang tahu pasti tentang apa yang bakal terjadi  esok hari. Meskipun rencana itu telah disusun secara matang, prediksi itu telah didasarkan pada indikator – indikator yang ilmiah dan akurat, tetap saja tak ada yang kuasa menentukan kepastiannya. Hari – hari yang kita jalani tak lebih hanya sepenggal masa yang esoknya tak pernah bisa kita terka, sepotong waktu yang esoknya kita tidak akan pernah tahu. Maka  dalam konteks inilah, keimanan kita akan Qadha dan Qadar Allah SWT menjadi penting.
Kisah lelaki di tepi pantai itu tak hanya kisah tentang seorang hamba yang sedang dilanda duka, bukan melulu kisah tentang seorang manusia yang sedang bersedih hati. Kisah ini adalah refleksi tentang ketidakberdayaan manusia melawan ketentuan Allah, hingga akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka, harus berujung pada kepasrahan menerima ketentuan tersebut diatas ketidakberdayaannya. Segalanya dalam kehidupan ini bukan dalam kuasa kita. Ikhtiar hanyalah sebuah upaya sunnatullah mendekatkan ketentuan Allah. Maka dari sinilah kita tidak diperkenankan sombong dengan apa yang berhasil kita capai, sedemikian juga kita dilarang bersedih dengan apa yang luput dari jangkauan tangan kita. Ketentuan Allah adalah pasti. Tak ada pilihan lain bagi kita kecuali menjalaninya. Hitam – putih dalam kehidupan ini harus kita jalani. Apapun takdirnya meski kita terima, karena disana ada kalkulasi – kalkulasi ilahi tersendiri, yang tak pernah bisa tersentuh oleh kalkulasi manusiawi. Seperti angin yang berhembus, tak hanya harus kita terima ketika menghantarkan kita pada kantuk yang menjadikan kita tertidur lelap, tetapi juga meski kita terima ketika angin itu berubah menjadi topan dan badai yang menghancurkan, melemparkan semua yang ada dari milik kita.
Kita memang harus banyak belajar tentang bagaimana memandang hidup, menerima segala ketentuan Allah SWT. Jangan sampai kita keliru karena persepsi kita sendiri, karena tak ada yang lebih menyiksa daripada persepsi diri sendiri yang keliru. Apa yang seharusnya bisa kita pandang baik, bisa menjadi berubah buruk, karena cara pandang kita yang keliru. ‘’ Maka apakah orang –orang yang dibukakan Allah hatinya untuk ( menerima ) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya ( sama dengan orang yang membeku hatinya ? ) Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah “.
Alangkah kayanya hidup ini dengan pelajaran. Tapi alangkah miskinnya kebanyakan diantara kita memahaminya. Sebagaimana kisah lelaki di tepi pantai diatas, ternyata sarat pelajaran berharga bagi kita. Sayangnya, tak banyak diantara kita yang memahami, meskipun banyak orang pintar diantara kita. Sebab pintar memang berbeda dengan paham. Pintar hanyalah alat, sedangkan paham adalah menghayati. Semoga saja kita tak hanya pintar, tetapi juga bisa memahami ada apa dibalik kisah lelaki ditepi pantai ini. Sebagaimana pemahaman kita, bahwa kita harus pasrah menjalani ketetapan Allah sampai kapanpun. Sepanjang perjalanan hidup kita, sampai akhir hayat kita.